“Yudi... Yudi...
Didik... Didik....”
Suaraku hampir habis. Sejam lebih lamanya aku memanggil mereka berdua, tapi jawaban sepatah
kata pun tak kudengar. Air mataku menetes, aku sebagai ketua pendakian kali ini
tak tahu kedua anak buahku
hilang entah ke mana. Kini rombongan
pendakianku berkurang dua orang. Aku merasa
bersalah.
Mendung
tak terlihat sore tadi. Itulah mengapa kami bertekad bulat untuk melakukan
pendakian. Tapi alam kadang memang tak bisa diprediksi. Tiba-tiba saja saat
tengah malam, kabut tebal putih datang menghadang perjalanan pendakian kami.
Spontan kami terkejut. Selama pendakian, baru kali ini kami jumpai peristiwa
alam yang menakutkan. Lampu badai yang kami gunakan sebagai penerang jalan langsung padam
begitu saja oleh hembusan angin kencang. “Tiarap! Semuanya diam di tempat.
Perjalanan sementara dihentikan dulu! Jangan sampai ada yang bergerak sendirian
hingga kabut ini benar-benar hilang!” teriakku kepada teman-teman yang saat itu tengah panik ketakutan.
Setelah lima
belas menit berlalu, kabut tebal itu berangsur-angsur menghilang. Aku terkejut,
selang beberapa saat, gempa pun datang mengguncang.
“Semuanya tetap
tenang. Jangan takut! Berdzikirlah kepada Allah!”
aku mencoba menenangkan keadaan
ketika tiga temanku tampak takut dan gelisah.
Dan alhamdulillah...
akhirnya gempa pun berhenti. Namun, aku semakin terkejut tatkala Yudi dan Didik
tidak ada di sekitar kami.
“Di mana Yudi dan Didik, Wan?”
tanyaku pada Ridwan. Dialah yang tadi berjalan tepat di belakang Didik.
“Aku juga nggak
tahu, San. Kabut tadi tebel banget, sampai-sampai aku tadi tidak dapat melihat
Didik.”
Kutolehkan
pandangan ke wajah Andi dan Roni. Mereka berdua menggelengkan kepala, tidak tahu keberadaan
Yudi dan Didik.
“Kita harus
segera cari mereka berdua! Kita batalkan pendakian kali ini. Kita harus segera
menemukan mereka berdua dan turun dari gunung ini secepat mungkin.”
Kami pun mencari
Yudi dan Didik. Hampir seluruh tempat di
sekitar kami berada saat itu kami telusuri.
Teriakan-teriakan sudah kami lantangkan dengan kerasnya. Tapi, kami belum juga
menemukan mereka. Satu jam lebih lamanya kami mencari, sedikit pun jejak mereka
tidak berhasil kami temui. Dengan terpaksa kami tinggalkan mereka berdua di
tengah gunung itu
karena suara ribut angin semakin keras dan kencang. Kami pun turun untuk
meminta bantuan dengan segera.
Aku
turun sendiri hingga berada kira-kira enam kilo meter dari basecamp
pendakian untuk mendapatkan sinyal guna memanggil bantuan. Sementara tiga
temanku, Ridwan, Rony, dan Andi aku suruh untuk berada di basecamp melaporkan
kejadian yang kami alami barusan kepada warga. Begitu mendapat sinyal, segera
aku hubungi team SEARCH kota kami untuk menuju lokasi pada dini hari itu juga.
***
Dua hari lamanya
kami bersama team SEARCH melakukan pencarian. Aku heran, semua tempat telah
kami cari. Tapi hasilnya tetap
saja nihil. Secuil jejak mereka pun
tidak ditemukan. Seakan-akan benar kalau Yudi dan Didik
hilang dibawa terbang oleh kabut tebal kala itu sebagaimana kata warga sekitar.
“Peristiwa
alam pada malam itu memang jarang sekali terjadi. Aku baru pertama kali
menyaksikan ya pas malam itu, Nak,”
jawab seorang kakek yang sudah berusia hampir enam puluh tahun saat kutanyai
apakah peristiwa pada waktu malam yang kami temui itu pernah terjadi
sebelumnya.
“Almarhum
Ayah dulu pernah cerita kepadaku. Waktu mudanya beliau suka sekali bermalam
bersama teman-temannya di gunung ini. Suatu malam pas bermalam di gunung ini, beliau
kehilangan seorang temannya pas ada kejadian aneh, mungkin persis seperti yang
dialami kalian kemarin, Nak. Beliau bilang temannya itu dibawa terbang oleh kabut
tebal berwana putih,” lanjutnya.
“Apakah
dulu Almarhum ayah Kakek melihat sendiri kalau temannya dibawa terbang oleh kabut
itu?” tanyaku mencari jawaban
yang pasti. Cerita kakek itu sulit sekali untuk kuterima. Awan bisa membawa
manusia? Ahh… tidak masuk akal!
“Beliau
tidak melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri karena pada waktu itu kata
beliau kabutnya memang sangat tebal, tapi beliau yakin kalau temannya itu
dibawa terbang oleh kabut tebal. Karena setelah kabut tebal itu lenyap, teman beliau
langsung menghilang begitu saja.”
“Trus
teman beliau dulu apa juga sudah dicari di sekitar gunung ini, Kek?” tanya Rony yang juga tidak langsung percaya begitu
saja dengan kabar itu.
“Sudah,
Nak.”
“Apa
sudah dicari di semua tempat sekitar gunung ini, Kek?” tanya Ridwan.
“Apakah
dulu di jurang juga sudah dilakukan pencarian, Kek?” tanyaku kemudian.
“Dulu
semua tempat sudah beliau cari bersama warga sampai hampir sebulan lamanya. Kecuali
di jurang, Nak.”
“Kenapa
kok nggak dicoba nyari di jurang, Kek? Siapa tau teman ayah Kakek itu dulu jatuh ke jurang.” Andi yang dari tadi bengong menyimak ikut bertanya.
“Para
warga tidak berani ke sana, Nak. Sebelum kejadian teman beliau yang hilang
tiba-tiba itu, dulu pernah ada tiga orang warga yang turun ke bawah jurang.
Berhari-hari mereka tidak kembali. Akhirnya keluarganya pun mencari mereka ke
jurang itu. Tapi kemudian keluarga mereka itu juga tidak kembali. Kejadian aneh
itu membuat warga takut untuk mencari mereka di jurang itu. Setiap orang yang
pergi ke jurang itu pasti tidak kembali. Sejak saat itu jurang di gunung itu disebut
warga sebagai Jurang
Kematian.”
Cerita
Kakek tentang Jurang Kematian itu membuat kami dan team SEARCH merinding. Meskipun
cerita itu terdengar ganjil dan tidak masuk akal, tapi kejadian menghilangnya
warga setelah turun ke Jurang Kematian itu adalah nyata adanya. Cerita itu sudah
masyhur di kalangan warga lereng gunung itu. Tak heran jika setiap anak penduduk
gunung di situ pasti mampu menjawab jika
ditanya tentang Jurang Kematian.
***
Keberadaan
Yudi dan Didik masih penuh tanda tanya. Apakah Yudi dan Didik benar-benar
dibawa terbang oleh kabut tebal entah kemana? Atau apakah Yudi dan Didik jatuh
di jurang lantaran angin besar bersama kabut malam itu? Yang kedua inilah yang
paling kuat menancap di kepala kami waktu itu, lebih masuk akal. Dan untuk
mengetahui jawaban pertanyaan itu, kami harus pergi turun memeriksa jurang itu.
“Bagaimana
pun juga aku yang bertanggung jawab terhadap hilangnya Didik dan Yudi, Pak.
Izinkanlah kami pergi ke jurang itu,”
rengekku pada Pak RT yang melarang kami pergi ke Jurang Kematian.
“Iya,
Pak… izinkanlah kami. Didik dan Yudi adalah teman kami. Jika kami pergi
bersama, maka kami pulang juga harus bersama,” Rony membantuku membujuk Pak RT.
“Kami
tahu Bapak mengkhawatirkan keselamatan kami, tapi mohon Bapak mengerti perasaan kami. Kami
mohon, Pak… izinkanlah kami.”
Andi yang biasanya cengengesan, kali ini terlihat serius.
“Soal
hidup mati orang itu sudah diatur sama Yang Di Atas. Jadi, Bapak tidak usah mengkhawatirkan
kami. Kami tidak akan mengajak warga untuk turut serta dalam pencarian teman
kami. Biar kami yang berempat saja yang akan turun ke jurang itu. Izinkanlah
kami ke jurang itu, Pak,” kali ini
Ridwan yang memohon.
“Aku
akan menemani mereka, Pak!!” teriak ketua tim SEARCH.
“Aku
juga!”
“Aku
ikut!!”
“Aku
ikut!!”
“Aku juga!”
Suara
anggota tim SEARCH bersahut-sahutan ingin turut serta dalam pencarian Didik dan
Yudi. Karena banyaknya yang memohon, akhirnya Pak RT pun mengizinkan kami untuk
pergi ke Jurang Kematian bersama tim SEARCH.
***
“Ada
tengkorak!!!” teriak seorang
anggota tim SEARCH.
Ada
tulang belulang manusia yang kami temukan di dasar Jurang Kematian. Tak hanya
satu, melainkan ada beberapa. Kemungkinan besar tulang-tulang itu adalah tulang
warga desa dalam cerita warga yang tidak pernah kembali setelah turun ke jurang
itu.
Sebab
mereka sampai meninggal di Jurang Kematian yang selama ini menjadi misteri pun
terungkap. Di dasar jurang banyak keluar gas belerang dan gas beracun lainnya.
Kami beruntung, tim SEARCH yang sudah lama berteman dengan alam bersedia
menemani kami dalam pencarian itu. Dengan berbekal ilmu alam dan obat-obatan
yang dibawa tim SEARCH, tak ada satu pun baik dari pihak kami maupun pihak tim SEARCH
yang terkena racun.
Berjam-jam
kami mencari Yudi dan Didik di Jurang Kematian. Kami hanya menemukan sekumpulan
tulang belulang tadi. Kami akhirnya naik ke atas setelah kaki kami menginjak
semua tempat di dasar jurang itu. Kekecewaan menyelimuti kami. Yudi dan Didik
tak berhasil kami temukan.
Sesampainya
di atas jurang, kami menceritakan kepada sebagian warga -yang turut mengantar
kami dan menunggu di atas jurang- tentang apa yang kami temukan di dasar Jurang
Kematian berkenaan dengan tulang belulang manusia dan gas beracun. Kami pun
mengabari bahwa tulang belulang yang kami temukan itu telah kami kubur di bawah
sana.
Pencarian
Didik dan Yudi tidak kami lanjutkan pada hari itu. Kami dan tim SEARCH sudah
merasa letih sekali setelah lamanya menelusuri semua tempat di dasar Jurang
Kematian. Lagi pula setitik jejak Didik dan Yudi juga tidak kami temukan di
jurang itu. Sekarang semua tempat di gunung itu telah kami susuri. Kemana lagi
kami harus mencari? Kami dan tim SEARCH akhirnya harus meyakini hal yang aneh
dan tidak masuk akal itu, bahwa Didik dan Yudi memang benar-benar telah dibawa
terbang oleh kabut tebal entah kemana pada malam itu. Kami dan tim SEARCH
akhirnya memutuskan untuk tidak mencari Didik dan Yudi lagi dan memutuskan
untuk pulang ke rumah meski dengan tangan kosong.
***
Dua
sosok orang tengah berkerumun bersama
warga
yang sedang menunggu kami.
Kami hafal betul sosok
mereka berdua meski dari kejauhan. Sosok dua orang itu tidak asing di mata kami.
“Subhanallah...
itu Yudi dan Didik!!! Alhamdulillah,” teriakku
senangnya bukan main.
***
Menghilangnya
Yudi dan Didik bukanlah karena dibawa terbang oleh kabut tebal. Saat malam hari
tatkala kejadian fenomena alam yang menakutkan itu, mereka berdua berlari
kepanikan hingga menghilang dari pandangan kami. Sehingga tersesatlah yang
mereka dapatkan. Tapi akhirnya mereka berdua mampu keluar dari gunung itu
setelah susah payah dan menemukan jalan kecil yang biasa dipakai warga untuk
mencari makanan ternak di gunung.
***
Cerpen ini terhimpun dalam antalogi Catatan Hati Bianglala Hijrah
1 komentar:
Click here for komentartegang
ConversionConversion EmoticonEmoticon